Jamasan Pusaka
Jaman pusaka merupakan Upacara Adat warisan turun temurun
dari para pendiri Kabupaten Ngawi, yang merupakan agenda tahunan setiap
memperingati HUT Ngawi. Jamasan Pusaka meliputi 2 (dua) buah Tombak yaitu; Kyai
Singkir dan Kyai Songgolangit serta 2 (dua) buah Payung yaitu ; Tunggul Wulung
dan Tunggul Warono. Ritual ini di pimpin langsung oleh Bupati Ngawi Ir. Budi Sulistyono
yang diikuti oleh Unspinda ( Unsur Pimpinan Daerah ) serta para staf di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Ngawi dengan memakai baju adat Kejawen.
Tari pentul melikan
Tarian ini ditarikan dengan memakai topeng kayu
yang melambangkan watak manusia yang berbeda-beda namun tetap bersatu dalam
kerja. Topeng ini dipengaruhi Jaman Kerajaan Kediri dan masa kini. Iringan
gamelan sedikit mendapat pengaruh Reog Ponorogo.
Tari ini digarap atau diciptakan pada tahun 1952 oleh Bapak Munajah di Desa Melikan Kelurahan Tempuran, Kecamatan Paron, Kebudayaan Ngawi. Diciptakan untuk menghibur masyarakat setelah membangun sekolah desa itu. Perkembangan selanjutnya pementasan diadakan untuk memperingati hari-hari besar nasional dan hari besar Islam oleh penduduk setempat.
Gerak-gerak tarian melambangkan menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan ini menumbuhkan ketentraman dan kedamaian. Digambarkan dalam bentuk berbaris seperti prajurit dan setengah lingkaran.
Tari ini digarap atau diciptakan pada tahun 1952 oleh Bapak Munajah di Desa Melikan Kelurahan Tempuran, Kecamatan Paron, Kebudayaan Ngawi. Diciptakan untuk menghibur masyarakat setelah membangun sekolah desa itu. Perkembangan selanjutnya pementasan diadakan untuk memperingati hari-hari besar nasional dan hari besar Islam oleh penduduk setempat.
Gerak-gerak tarian melambangkan menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan ini menumbuhkan ketentraman dan kedamaian. Digambarkan dalam bentuk berbaris seperti prajurit dan setengah lingkaran.
Tari orek-orek
Ngawi sejak tahun 1980 an terkenal sebagai Bumi
Orek Orek. Sebutan ini tidak lepas dari adanya Tari Orek Orek yang tumbuh
subur dan berkembang dimasyarakat luas. Hampir disetiap acara baik yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat sendiri, tari ini
selalu dipentaskan. Tari Orek–orek merupakan tarian dengan gerak dinamis
dengan pemain terdiri dari pria, wanita berpasangan. Menggambarkan muda mudi
masyarakat desa yang sehabis kerja berat gotong royong, melakukan tarian
gembira ria untuk melepaskan lelah.
Tari bedoyo srigati
Tari Bedoyo Srigati ini adalah tarian sakral yang
biasanya menjadi tarian upacara adat pada waktu Ganti Langse di obyek wisata
spiritual Pesanggrahan Srigati . Tarian Ini ditarikan oleh paling sedikit 10
penari yang semua harus masih gadis. Saat ini Tari Budoyo Srigati juga biasa
ditampilkan pada saat ada jamuan tamu yang berkunjung di Ngawi. Ditarikan oleh
para gadis cantik dengan pakaian tradisional yang indah dan gerak yang lembut,
Budoyo Srigati sangat menarik untuk ditonton.
Tari keduk beji
Upacara Keduk Bedji merupakan salah satu cara
untuk melestarikan adat budaya penduduk Desa Tawun sejak jaman dulu. Tujuan
utamanya adalah mengeduk atau membersihkan Sumber Beji dari kotoran. Karena di
sumber inilah letak kehidupan penduduk Tawun. Menurut masyarakat sekitar, Keduk
Bedji harus dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon setelah panen di bulan
Oktober. Inti dari ritual ini, terletak pada penyilepan atau penyimpanan kendi
di pusat sumber air Beji. Pusat sumber tersebut terdapat di dalam gua yang
terdapat di dalam sumber.
Ritual ini berawal dari pengedukkan atau pembersihan kotoran di dalam sumber Beji. Seluruh pemuda desa terjun ke air sumber untuk mengambil sampah dan daun-daun yang mengotori kolam dalam setahun terakhir. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan penyilepan kendi ke dalam pusat sumber. Setelah itu, penyiraman air legen ke dalam sumber Beji dan penyeberangan sesaji dari arah timur ke barat sumber. Selama penyeberangan sesaji, para pemuda yang berada di sekitar sumber Beji berjoged dan melakukan ritual saling gepuk (pukul) dengan diringi gending Jawa. Ritual tahunan ini diakhiri dengan makan bersama Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon yang telah disediakan bagi warga untuk "ngalub" (meraih) berkah. Warga saling berebut makanan yang dipercaya bisa mendatangkan berkah dan keberuntungan bagi kehidupannya kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar